Rabu, 21 April 2010

Subsidi Silang Saling Tolong


Mahalnya pendidikan di indonesia sudah menjadi wacana umum dan belum ada solusi riil dari pemerintah. Padahal, mulai dari tingkat TK hingga bangku perkuliahan, uang yang dikeluarkan tidaklah sedikit. Hal ini membuat orang yang kurang beruntung mengambil pilihan untuk tidak sekolah. Ya, karena pendidikan di Indonesia tergolong mahal.

Bayangkan saja, untuk masuk TK minimal mengeluarkan uang sekitar Rp. 500.000,00. Berlanjut untuk masuk SD standarnya hingga satu juta. Lalu masuk SMP atau SMA mencapai 5 juta. Sudah bisa dibayangkan bagaimana untuk masuk perguruan tinggi?

Sampai pada suksesnya pembatalan UU BHP, sebelumnya pendidikan di Indonesia dihadapkan pada layanan publik yang di Badan Hukum-kan. Tentu berisiko pada konsekuensi ekonomis dan politis yang amat besar. Pemerintah menjadi mudah melemparkan tanggung jawab pendidikan pada pemilik badan hukum yang tidak jelas. Dan berdampak pada biaya pendiikan yang melambung tinggi di beberapa PTN favorit.

Memang, privatisasi yang menunjukan semakin lemahnya peran negara dalam hal pelayanan publik merupakan dampak dari tekanan hutang dan kebijakan demi pembayaran hutang. Contohnya saja seperti yang terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasal ini menyebutkan penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Dan akhirnya sama seperti perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan.

Ancaman nyata dari privatisasi pendidikan adalah pemerintah melegitimasi komersialisasi pendidikan lalu menyerahkan tanggung jawab pengadaan pendidikan pada pasar. Lalu sekolah akan memiliki otonomi dalam menentukan biaya penyelenggaraan pemerintah. Logikanya, sekolah akan memasang tarif tinggi dengan alibi untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Sudah jelas akhirnya rakyat yang kurang mampu makin kesulitan untuk menikmati pendidikan yang dibatasi, bahkan dikotak-kotakkan. Kesenjangan sosial makin jelas terasa.

Pendidikan yang dinilai berkualitas memang tak bisa dikategorikan murah. Sebenarnya pemerintah berkewajiban untuk menjamin setiap warga negara memperoleh pendidikan yang layak bagi berbagai lapisan. Namun realitasnya pemerintah justru lebih sering cuci tangan.

Solusi yang dibutuhkan tentu lebih mendasar dan fundamental. Hal ini hanya akan dapat diwujudkan dengan perombakan secara menyeluruh. Dapat diawali dengan perubahan pola berpikir dari sekuler menuju mengandalkan pragmatis dan praksis.

Seperti contohnya pada perguruan tinggi. Dana untuk mengoperasikan universitas memang berasal dari pemerintah dan masyarakat. Layaknya di negara maju, pendanaan universitas tergantung pada asal pembenrukannya. Jika itu universitas milik negara, maka wajar pemerintah memberikan dana secara rutin hingga 100 persen. Namun jika menganut sistem badan hukum milik negara maka proporsinya sekitar 30 persen.

Berapapun dana dan bentuk proporsinya, universitas diharapkan tidak akan menjadi benar benar komersial jika seluruh dana yang didapatkan digunakan untuk peningkatan mutu, termasuk bagi mahasiswa yang kurang mampu.

Dikenal dengan kata nirlaba, yakni hasil dari kegiatan universitas yang tentu tidak boleh diberikan pada pihak lain untuk menghindari komodifikasi.

Jika hal ini dilakukan secara benar dan berimbang maka dapat menyelesaikan masalah secara nasional. Seperti mengatasi uang sekolah bagi masyarakat yang kurang beruntung dari gabungan sumber dana masyarakat.

Dana bisa dihimpun melalui riset dan pengembangan, industri, serta menghimpun dana dari masyarakat, yaitu mahasiswa yang mampu membayar seluruh kebutuhan pendidikan. Maka subsidi silang dapat terealisasi jika mahasiswa membayar melebihi anggaran dana yang dibutuhkan dalam pendidikannya. Dari pihak universitas sendiri semestinya mengumpulkan dana dari berbagai kegiatan serupa.

Dana yang dihimpun dapat digunakan juga untuk peningkatan kualitas dosen terkait program peningkatan mutu universitas. Dalam pembelajaran kapasitas dosen amat berperan penting.

Dengan dana yang dinilai cukup besar, operasional bisa dikembangkan pada beasiswa dan pemberian bantuan uang sekolah maupun biaya lainnya. Pengawasan keberlangsungan program ini dapat dilakukan bersama. Baik dari civitas akademika maupun eksternal universitas. Sebagai indikasi suksesnya sistem tersebut, akan tampak bahwa dalam universitas memiliki lebih besar jumlah mahasiswa yang bersubsidi daripada yang membayae penuh.

TANAM POLA PERILAKU JUJUR

Ujian Nasional yang menjadi momok banyak siswa SMA dan SMP telah usai dilaksanakan beberapa waktu lalu. Berita kecurangan banyak dijumpai diberbagai wilayah seluruh Indonesia. Baik laporan resmi maupun yang nonformal. Akhirnya kecurangan menjadi suatu “tradisi” yang selalu dikaitkan dengan pelaksanaan UN.

Tim Pemantau Independen dan Panitia Pengawas Ujian Nasional SMA/MA/SMK 2010 Nusa Tenggara Barat, melaporkan 210 sekolah ke Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) karena terindikasi curang dalam pelaksanaan ujian nasional.

UN memang menjadi parameter kelulusan. Kemampuan siswa diuji melalui UN. Namun sayangnya parameter yang dipakai akhirnya menjadi beban bagi sekolah, yakni siswa dan guru. Karena, kemampuan tiap siswa adalah tidak sama. Sekolah yang bertaraf tinggi tentu berbeda dengan yang berada dinilai subordinat.

Melihat hal ini, jika parameter harus ketat dan jujur, banyak sekolah yang kualitasnya pas pasan mendapati siswanya tidak lulus UN. Lalu demi menjaga reputasi maka kejujuran menjadi sulit direalisasikan. Tak sedikit para aparatur sekolah yang berlomba untuk menaikan nilai siswanya melalui jalan pintas yang kurang layak.

Memang untuk menghentikan kecurangan yang hampir selalu ada dalam pelaksanaan UN tidak mudah. Selain karena negera kita sangat luas sehingga tidak mungkin terpantau semua secara efektif, faktor ingin membantu yang sedang melakukan UN, baik untuk dikomersialkan bantuannya atau secara suka rela masih relatif menjadi alasan.

Jika kecurangan dilakukan terus menerus, akan sangat merusak sistem pendidikan, bahkan berimbas pada mental dan akhlak murid. Nilai kejujuran dan kesederhanaan yang seharusnya ditanamkan pada anak didik sedari awal belajar dilembaga yang disebut sekolah kian meluntur. Padahal awal dari membangun sebuah negara yang besar adalah kejujuran. Hal ini tidak bisa disepelekan begitu saja.

Jika UN yang dilaksanakan jauh dari asas kejujuran, nilai angka yang dihasilkan hanyalah semu. UN menjadi tanpa makna untuk mengukur kualitas kelulusan. Kebijakan akhirnya menjadi sebuah kebijakan saja tanpa bisa memperbaiki kondisi pendidikan kita.

Menjalani UN tanpa kecurangan akan menumbuhkan rasa percaya pada diri sendiri dan akan membantu melewati ujian berikutnya. Karena dibenak mereka tertanam apa yang mereka dapat adalah hasil kerja keras, bukan karena orang lain. Motivasi untuk terus belajar dan menggali potensi diri akan makin besar.

Siswa harus benar-benar siap dan jangan percaya dengan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Yakni menawarkan kunci jawaban maupun pihak yang mengaku dapat membantu mengkatrol nilai karena semua itu tentu sudah diantisipasi dari penyelenggara.

Suasana belajar yang kondusif perlu dibuat.hal ini tidak bisa dilakukan sendiri sendiri, perlu kerjasama berbagai pihak. Murid yang dididik oleh guru sepintar apapun tak akan berhasil secara sempurna tanpa dukungan orangtua dan lingkungan yang dipilih. Dari pihak pemerintah sendiri sebaiknya mulai mengeluarkan kebijakan yang masuk akal, jujur dan bijak melihat realitas yang ada.

Sesuatu tidak bisa dicapai secara instan. Contohnya saja sekolah akan mengalakkan program untuk mencapai kelulusan pada beberapa bulan sebelum ujian. Pola yang seperti ini tidak bisa terus dipertahankan. Sekolah dijalani untuk mendapatkan hasil baik dari proses pembelajaran keseluruhan. Bukan hanya dalam hitungan bulan. Menjadi cenderung instan.

Guru yang kepayahan menanggapi fenomena ini lalu hanya terfokus pada pelajaran-pelajaran tertentu saja yang di-UN-kan. Pelajaran lain yang tidak di-UN-kan ditanggapi hanya sebagai pelengkap saja.

Sedangkan belajar terlalu cepat juga dapat direpresentasikan pada lembaga pembelajaran yang menyediakan jasa jurus ringkas menjawab soal. Murid hanya paham jawaban benar salah tanpa mengetahui lebih dalam makna yang terkandung dalam soal.

Selain itu peran guru harus bisa lebih dimaksimalkan. Tidak hanya sebagai pengajar, tapi juga berbagi pengalaman belajar untuk dapat memberi gambaran keteladanan bagi siswa. Pemberian tugas bisa yang membangkitkan rasa ingin tahu serta dapat mengakomodasi pengekspresian dan penyampaian ide dari siswa. Dengan begitu siswa menjadi lebih produktif.

Pendidikan diharapkan mampu membentuk karakter dan mental generasi muda yang membudayakan sikap mandiri, bertanggung jawab, demokratis, jujur dan bermoral. Nilai kejujuran wajib dipertahankan. Pemerintah sebaiknya meninjau ulang pelaksanaan UN. Agar tak lagi mengorbankan siswa, guru dan sekolah. Semua berproses, bukan instan.