Rabu, 24 Februari 2010

Parpol (masih) Butuh Perbaikan

Dalam hitungan bulan, Pilkada di Jawa Tengah akan segera dilaksanakan. Penduduk Jawa Tengah yang memiliki syarat akan segera memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah mereka. Pilkada yang secara resmi telah menjadi bagian dari Pemilu, mensyaratkan berbagai hal bagi calon yang hendak maju. Seperti yang telah diatur dalam Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2008, bahwa selain dari parpol, peserta pilkada dapat berasal dari pasangan calon perseorangan dan didukung oleh sejumlah orang. Sudah lebih bisa mengakomodir karena pasangan calon yang diusulkan tidak harus dari partai politik maupun gabungan.

Pelaksanaan Pilkada menjadi pembuktian atas asas demokrasi yang negara kita anut. Dimana proses pelaksanaan dapat menjadi parameter keberhasilan pelaksanaan Pilkada. Seperti langsung, bebas, jujur, dan adil. Nilai demokrasi bisa dikembangkan menjadi nilai bangsa. Demokrasi yang mapan maka partisipasi masyarakat demokratis juga akan mapan. Sehingga tak hanya ceremonial saja namun berdasarkan kesadaran politik dan demokrasi. Bagaimana akhir dari proses berjalan dapat diamati dari partai politik dan calon kepala daerah yang maju dalam pilkada nanti. Karena dua bagian ini memegang peranan penting kemana arah nilai demokrasi berjalan.

Sudah awam ditemui pembelian tiket atas calon pada suatu parpol tertentu saat terjadi pilkada. Dengan harapan, bergabung dengan partai politik yang dinilai mempunyai massa banyak akan membantu memenangkan pemilihan nanti. Hal ini didasari atas anggapan bahwa masyarakat masih cenderung fanatik atas partai tertentu. Siapapun yang diusung oleh partai kesayangannya, maka kemungkinan besar akan ikut terpilih. Hal yang dikhawatirkan adalah ketika para pemilih mengesampingkan kualitas dari calon itu sendiri karena terlalu silau dengan parpol dibelakangnya.

Dengan waktu yang relatif singkat, masyarakat sedikit kerepotan untuk mengenali lebih dalam calon pemimpin mereka kelak. Banyak calon melancarkan berbagai macam iklan dan strategi nomer satu mereka di banyak kesempatan. Hal ini dinilai menjadi kurang efektif jika berlebihan. Karena masyarakat butuh pembuktian daripada sekedar wacana. Masyarakat akhirnya menggantungkan kepercayaan pada partai yang telah lebih dulu dikenal dari pada kandidat. Partai dianggap bisa mewakili aspirasi mereka dalam memilih pemimpin seperti yang diharapkan.

Para kandidat sebaiknya menyadari hal ini dan menyikapinya secara bijak. Untuk menghindari prasangka yang berlebih, perlu diselaraskan antara kualitas dan pamor. Dengan mengadakan pendekatan rasional seperti dialog dengan masyarakat dan berusaha memahami serta mempelajari persoalan yang ada. Hal ini dapat membantu perumusan program politik yang masuk akal dan provokatif demi kebaikan bersama.

Banyak calon yang membeli tiket hanya untuk kepentingan pribadi semata. Tanpa kembali melihat partai yang dulu membantunya. Dan dari partai sendiri juga hanya menyediakan fasilitas yang dibutuhkan oleh calon. Tidak peduli apakah akan menang atau tidak. Jika memang kekuasaan yang menjadi pengejaran utama, parpol sebaiknya mencari kandidat yang dapat memajukan partai itu sendiri tak hanya menuruti kemauan pribadi saja.

Partai politik yang ideal dalam memilih calon yang diusung wajib mempertimbangkan calon yang bertanggung jawab dan berkompeten dibidangnya. Tak asal comot dengan iming – iming ”mahar” besar. Selain memperbaiki kinerja juga harus lebih waspada agar tidak ditinggalkan pendukungnya. Lebih menelaah apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat. Penting halnya bagi partai politik untuk mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat.

Dalam dinamika politik sekarang ini hendaknya partai yang mencari calon, bukan malah sebaliknya, didatangi pemburu tiket yang ingin menang pilkada. Parpol bisa disebut gagal membangun kaderisasi jika partai mengambil calon dari luar partai, baik pengusaha, tokoh agama, maupun lainnya. Jangan sampai parpol terlihat hanya sebagai penjual tiket pilkada saja karena terlanjur berpikir pragmatis tentang materi.

Menjadi tantangan tersendiri bagi partai politik untuk membenahi sistem yang sudah terlanjur tercerai-berai dan salah kaprah. Komunikasi politik jangan hanya satu arah (top-down). Parpol harus bisa mengartikulasi kebutuhan masyarakat secara baik. Perbaikan dalam perekrutan kader, perbaikan dalam pendidikan politik dan menjadika managemen partai yang lebih demokratis. Dengan demikian diharapkan parpol bisa menjadi alat pencerahan dalam proses demokrasi. Memelihara budaya berpolitik demi mencapai kedewasaan berdemokrasi.